Senin, 19 Januari 2009

Alienasi Ke-Tuhan-an

Kita sesekali jengkel dengan Tuhan, Itu wajar saja. Tuhan yang Maha Segalanya pun terkadang tidak maha dalam pandangan kita. Tuhan yang maha Rohman dan Rohim pun sesekali terlihat tidak Rohman dan Rohim. Toh tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata Tuhan juga kadang jahat sama kita. Tuhan kadang tidak membela kita. Tuhan terkadang mengecewakan kita (setidaknya menurut kita). Harapan, asa yang kita pupuk, kita bangun dengan doa, ikhtiar dan tawakkal sering tidak dipenuhi oleh Yang Maha Memenuhi kebutuhan hamba Nya. Bahkan sekali kali kita dikejutkan oleh Tuhan pemberian yang tidak kita duga dan tidak kita harapkan.

Kita sebaiknya tidak terlalu berharap kepada yang belum tentu. Jangankan berharap kepada manusia, kadang kita berharap ke Tuhan pun belum tentu harapan kita sama dengan harapan Tuhan. Ini yang sering terjadi. Yang paling penting adalah keyakinan kita bahwa Tuhan maha baik harus kita pegang erat erat. Bahwa apa pun yang terjadi terhadap kita harus kita yakini sebagai ketentuan Tuhan untuk kita. Itulah kebaikan kita. Kadang Tuhan jahat sama kita, Dia nggak ngabulin doa kita, Dia ngasih musibah terus kepada kita, Dia seakan akan menelentarkan kita. Kejahatan Tuhan ataupun kebaikanNya adalah kebaikan kita. Dia tahu apa yang terbaik buat kita. Dia tahu yang patut diterima dan tidak diterima oleh kita. Percayalah Tuhan Maha Baik kepada Kita.

Belum tentu apa yang menurutmu baik, baik menurut Tuhan dan apa yang jelek menurutmu jelek menurut Tuhan.

Satu satunya cara agar kebaikan menurut kita baik juga menurut Tuhan dan Jahat menurut kita jahat juga menurut Tuhan adalah menyamakan persepsi kebaikan dan kejahatan kita dengan persepsi Tuhan tentang kebaikan dan kejahatan. Yang susah adalah menyamakan persepsi kita dengan Tuhan. Kita harus sanggup membunuh “diri” kita dan menghidupkan keTuhan-an dari diri kita. Ketika kita masih mengabdi kepada “diri” kita maka kita akan tetap terus mengalami perbedaan persepsi dengan Tuhan. Potensi Egoisme dalam diri kita harus kita kalahkan. Tanpa itu kita akan terus mengalamai alienasi keTuhanan dalam diri kita.

Maka kata orang bijak : Yang menjadi kekasih Tuhan adalah orang orang yang berkhidmat kepada Tuhan karena telah mengenal Nya, dan orang orang yang terus mencarinya karena belum mengenal Nya.

Bukan kah Nabi Ibrohim yang mendapat gelar kholilulloh telah melewati pencarian Tuhan dan melewati fase berkhidmat kepada Nya??

Dengan bahasa Ussi Sulistiyowati, sudah kan anda ”klik” dengan Tuhan?? Atau kah masih terus dalam ”keterasingan – alienasi” ??

Man Arofa nafsahu faqod arofa robbahu

Suwun

Kita di bunuh oleh …

Pernah kah anda mendengar bahwa ada paguyuban tukang becak yang ternyata salah satu program nya adalah menyerempetkan becak nya ke mobil yang lewat ? Kemudian setelah terjadi percekcokan antara yang punya mobil dan tukang becak, dengan tanpa minta persetujuan si pemilik mobil, ditunjuklah sang ketua paguyuban menjadi wasit/penengah, dan anda tahu kan hasilnya kemudian? Ganti rugi bagi tukang becak !

Hari hari ini SBY begitu mesakke (kasihan), apa yang dilakukan SBY menjadi salah karena dia kebetulan menjadi Presiden. Dan yang sangat terbaru adalah Pak Saechon, seperti ada kewajiban untuk “memenangkan yang miskin”, maka pak saechon dalam alam pikiran semua orang menjadi salah, padahal orang orang belum tentu telah mengetahui dengan seksama “asbabun nuzul “ (baca kronologi) tragedy Pasuruan itu.

Saya punya kawan, menurut saya dia itu luar biasa (bersih) untuk ukuran orang pajak, tetapi ya itu tadi, hanya karena kebetulan dia orang pajak, seakan akan kebersihan dia hanya kamuflase.

Silahkan anda sebutkan contoh contoh sebagaimana saya sebutkan diatas, itu semua terjadi karena kesadaran pikiran kita dibunuh oleh yang namanya STIGMA. Saya tidak berdiri di Monas ketika AKKBB dan FPI bentrok, tetapi “ekosistem informasi” membuat kesadaran pikiran saya seakan mengatakan “dasar FPI, tukang pembuat kekerasan” padahal saya tidak tahu persis asal muasal terjadinya kekerasan.

Kawan kawan ku semua : hari hari ini dan mungkin akan berlangsung lama, semua lingkungan informasi yang beredar di sekitar kita meracuni alam pikiran kita dengan apa yang dinamakan STIGMA, dan ketika kesadaran pikiran kita sudah teracuni maka ilmu, adil, objektif menjadi tak bisa bergerak menuntun kesadaran pikiran kita. Yang ingin saya katakan adalah berimbanglah menggunakan pengetahuan anda dan ketidaktahuan anda untuk memaknai fenomena, dan jangan sekali kali teracuni oleh STIGMA. Era pasar bebas ide seperti sekarang meniscayakan kita untuk bisa melakukan proses filter, verifikasi, tabayyun agar input yang masuk ke kesadaran pikiran kita menjadi bersih dan akhirnya kita bisa memandang persoalan dengan jernih.

Sesekali jadikan kesunyian menjadi input alam kesadaran pikiran kita, gampang di tulis, tapi susah di praktekkan, bukan ??

Suwun ...

Pilih mana? Saya Ludahi apa saya Tempeleng !

Kalo anda saya minta memilih dua pilihan antara di ludahi apa ditempeleng, manakah yang akan anda pilih? Apakah anda bisa membandingkan efek diludahi dan di tempeleng? Baik secara psikologis, secara fisik dan efek sosial lainnya.

Atau begini saja; anda pilih yang meludahi terus ditempeleng, ataukah yang diludahi terus menempeleng? Atau dibalik menempeleng terus diludahi, ataukah ditempeleng terus meludahi ?

Andaikan saja secara matematis bisa dihitung berapa selisih antara meludahi dan ditempeleng, or diludahi dan menempeleng, kira kira impas ataukah selisih, jika selisih, mana yang lebih besar (kadar “keras” nya)

Apakah anda akan memilih diludahi, karena anda adalah seorang yang anti kekerasan, sehingga menurut anda jangan sampai dech ditempeleng orang, kalo diludahi boleh boleh saja.

Apakah anda lebih marah jika ditempeleng daripada diudahi karena anda itu pejuang kelembutan dan kedamaian ?

Jadi jika anda anti kekerasan, pilih mana? Saya ludahi apa saya tempeleng ?

Kawan kawan ku sekalian, saya katakan kepada anda, saya tidak anti kekerasan kalo kekerasan adalah “domain fisik belaka”, kekerasan punya momentum nya, yang jika pas itu malah menjadi indah ...

suwun

Ganti Chanel –tentang amrozi-

Bayangkan, jika terjadi tabrak lari, apakah seandainya saja ternyata yang menabrak itu orang islam dan yang ditabrak ateis, apa kemudian kita ganti chanel dalam menghukumi "tabark lari" dg
chanel "teologi" sehingga yang salah itu yang ateis?

Eksuksi Amrozi memang telah berlalu, ada yang ingin saya diskusikan dengan anda semua, berita tentang eksekusi begitu heboh, Amrozi seakan akan mendapatkan kebenaranya justru ketika dia mati. Anehnya orang orang seakan akan lupa bagaimana dia sewaktu hidup membuat tragedy kematian yang cukup tragis.

Saya pernah didebat gara gara saya menyetujui bahwa amrozi itu teroris, orang itu membuat alibi, bagaimana dengan Bush, Amerka dsb. Saya katakan sekali lagi, kita perlu memandang sesuatu dengan pandangan yang arif dan factual. Jika benar amrozi dilahirkan oleh AS dan Bush, maka tentu saja ketika saya setuju bahwa Amrozi teroris maka Bush adalah bapaknya teroris.

Media kita bersikap kurang adil dalam pembentukan opini, seyogyagnya ketika hysteria Allohu Akbar menemani pemakaman Amrozi dkk media juga menampilkan kegetiran keluarga korban. Para keluarga yang ditinggalkan korban Bali jelas jelas mengalami kenestapaan, tanpa mereka memilihnya, dan itu menurut saya mereka mengalami"hidup jihad", sedangkan Amrozi memilih menurut keyakinannya "mati jihad" yang Tuhan mungkin tidak sependapat dengan dia.
Jadi siapakah yang Jihad?