Minggu, 31 Mei 2009

Sukurin Lu !

Sungguh kalo saja otoriter kepada istri tentu saja saya melewatkan acara Tukar Nasib di salah satu stasiun teve swasta. Saya tahu itu acara reka reka, sebab kebetulan saja kawan saya kang Dur plontos gambang syafaat pernah masuk acara itu dan kemudian saya konfirmasi apa benar yang ada di teve tsb (perihal pekerjaane) dan ternyata dia bilang “ah gak Cuma acting, professional lah”.

Jadi ya saya menikmati suka rianya istri saya menonton Tukar Nasib, sambil bilang coba saja kita bias beneran tukar nasib dg orang yang kita inginkan, enak toh ..
Dari acara itu selalu saja di akhir cerita si kaya memberi petuah kepada seluruh keluarganya bahwa mereka patut bersukur, nasibnya lebih beruntung dari keluarga miskin. Di sisi lain, keluaga miskin sering kali berandai andai bahwa jadi orang kaya enak, walau Cuma sehari.

Saya tidak akan mengupas tentang kekurangajaran teve yang mengeksploitasi kemiskinan, menjadikan orang miskin untuk modal sebuah tayangan televise. Toh saya tahu orang miskin yang dijadikan “model” mendapat “bisharoh” dari teve pun juga kenang-kenangan dari keluarga kaya, jadi tidak ada keberatan yang berarti.

Menarik memang bahwa kata banyak orang acara Tukar Nasib bermuatan ajaran untuk bersukur, maka dari itu saya akan menjlentrehkan sukur saja ketimbang ngrasai program teve yang saya pikir semua orang paham bahwa itu “hanyalah persaingan rating”.

Ketika kita melihat orang lain merasakan kepedihan, atau setidaknya nasib kita lebih baik dari orang lain, diam diam kita merasa bersukur. Untung bukan kita yang bernasib “sial” seperti itu. Misalnya saja diam diam kita merasa bersukur bahwa Lumpur lapindo tidak sampai ke daerah kita, bersukur bahwa bendungan di RT kita tidak jebol. Dst dst ..

Ini adalah tingkatan sukur pertama. Sukur dengan ukuran pribadi, bahwa yang penting kita selamet, kita tidak tekor, kita tidak apes. Orang lain silahkan apes, tekor dan sial.

Tingkatan sukur kedua adalah kita sukur yang berorientasi ke objek. Maksudnya begini, ketika kita sedang sungguh sungguh membutuhkan uang sejuta, tiba tiba saja kita mendapatkan hadiah sejuta, dengan spontan uang sejuta membuat kita bersukur. Seandainya saja hadiah tidak ada, atau hadiahnya berupa voucher (200 ribu) kita tidak menganggap bahwa kita patut bersukur. Lah bagimana mau bersukur wong harapan kita, kebutuhan kita tidak terpenuhi. Contoh lain misalnya saja kita berdoa dg sungguh untuk mendapat anak lelaki, dan ternyata anake perempuan. Maka biasane sikap kita adalah “sukur sih sukur Cuma mrengut berkepanjangan, wah karepku lanang kok!”

Sukur ini terkait objek yang kita dapatkan, semakin besar yang kita dapatkan semakin kita bersukur.

Sukur yang ketiga adalah sukur yang berorientasi ke subjek. Kalo anda ngefans sama ahmad dhani, kemudian anda diberi kesempatan bertemu dengan dia dengan syarat anda harus berkorban ndaftar sejumlah uang, maka ketika anda benar benar bertemu anda merasa bersukur. Bahkan ketika ternyata misale ahmad dhani tidak bias menemui anda tetapi hanya menitipkan kaset dg tanda tangan ahmad dhani, maka biaya akomodasi, uang dan keringat anda seperti tergantikan dengan sebuah tanda tangan, padahal jika dihitung anda tekor! Bukan masalah uang atau tanda tangan, ini masalah “ini dari ahmad dhani lho”. Silahkan dilanjutkan perumpamaan saya dg cerita lain, yang intinya adalah bahwa saya ingin mengatakan anda melihat pemberi/subyek, bukan objek. Focus anda adalah beryukur kepada, bukan bersukur atas apa, apalagi bersukur karena.

Sedulur semua, Jadi silahkan kita berkaca pada tingkatan mana kita sering bersukur, dan itu semua sah sah saja. Orang kaya beryukur itu biasa, orang miskin bersukur itu luar biasa, orang kaya yang lupa diri itu kurang ajar, orang miskin lupa diri - harap maklum saja lah…

Suwun

Kamis, 21 Mei 2009

Fitrah: Bening atau Kosong ?

Saya terus menerus mengeklplore pengertian fitrah, sampai hari ini ada dua alternative pengertian yang saya mungkinkan.

Sampai hari ini tidak ada kesimpulan yang berani saya putuskan untuk mengartikan kata fitrah, dari dua alternative yang saya punyai.

Alternative pertama fitrah diartikan sebagai kosong, tentu kosong dalam perspektif ruang. Agar lebih enak dijelaskan, maka saya andaikan saja bahwa bayi yang baru lahir itu bagaikan gelas, baru kemudian kefitrahan itu kita tarik ke perspektif ruang (gelas), apakah fitrah itu berarti kosong? Jika kosong maka konsekuensi metodologis nya adalah apa pun yang dimasukan ke gelas, maka itulah hasilnya. Maksudnya begini, jika kita masukan ke dalam gelas yang kosong itu air berwana biru, maka hasilnya ya air berwarna biru persis seperti inputnya.

Alternative yang kedua adalah fitrah diartikan sebagai bening, maksudnya adalah di dalam gelas “fitrah” itu sudah berisi air, tetapi air bening. Konsekuensi pengartian fitrah dengan bening adalah ketika kita misalnya mengisi gelas fitrah itu dengan air biru, maka outputnya tidak persis biru seperti inputnya, sebab tentu saja kebeningan bawaan akan mempengaruhi kebiruan air.

Agak susah memang memplot perpektif ruang (gelas) ke dalam bahasan fitrahnya bayi, Tinjauan fitrah nya bayi akan membawa kita ke tinjauan yang lebih dalam tentang filsafat kemanusiaan. Ada yang berpendapat bahwa bayi itu lahir benar benar kosong sehingga factor eksternal lah yang akan menjadikan seperti apa bayi akan tumbuh.

Ada juga yang berpendapat bahwa bayi itu lahir membawa “alam bawah sadar” kehidupan yang terdahulu, pendapat ini diamini oleh penganut reinkarnasi, alam bawah sadar tadi independent dari factor eksternal, bayi akan tumbuh melanjutkan kehidupan yang belum selesai. Di dalam wacana reinkarnasi inilah kemudian de javu menemukan relevansinya.

Ada juga yang berpendapat bahwa bayi itu lahir dengan “fitrah” –suci-, tetapi mengartikan suci masih tetap menimbulkan pertanyaan lanjutan, jika bayi terlahir suci, semestinya dengan factor eksternal yang “baik” akan dihasilkan pertumbuhan bayi yang baik. Atau sebaliknya, jika bayi suci ini dibenturkan dengan kondisi eksternal yang jelek maka hasilnya adalah resultante kejelekan eksternal dan kesucian bawaan. Saya banyak menemukan “ketidakteraturan” mengenai sejarah pertumbuhan manusia (bayi). Suci adalah kutub “positif” dalam perspektif kotor, apakah dengan demikian dunia ini (alam setelah bayi) adalah alam yang kotor?

Dalam hal ini saya masih belum terpuaskan dengan mengartikan fitrah dengan suci, sebab penjelasan suci dalam perspektif ruang yang saya sodorkan mau tak mau akan menuju pada dua alternative yang saya sebutkan.

Adakah yang bisa jelaskan ini? Saya sendiri lebih cenderung memilih bening, meski mungkin belum selesai pencarian saya, namun begitu nama Bening sudah terlanjur saya siapkan untuk menjadi nama depan anak perempuan saya, yah adik dari Gandrung anak pertama saya, yang entah kapan saya berani merencanakan bersunnatulloh dengan istri saya.

Mukasyafah

Dua orang laki-laki satu dari Indonesia dan satu dari Afganistan sedang berjalan jalan, kemudian mereka berpapasan dengan perempuan yang menggunakan penutup tubuh (hanya kelihatan mata saja). Seorang dari laki-laki tersebut “clingukan” terkesima, dalam hatinya berkecamuk pertanyaan: iku sopo? Belum selesai ketergangguannya lewat lagi perempuan serupa, dia bergumam “iki sopo neh?”, “podo mau ora?” setiap kali ada perempuan yang serupa lewat, dia memandangi dan terus membuat dia penasaran.
Kemudia ketika perjalanan diteruskan, saat berpapasan dengan wanita yang terbuka justru laki-laki yang satunya yang “terkesima” yang clingukan, hatinya berkecamuk, bergetar tanpa henti, “wah ayu ne rek!” belum sempat dia menelan ludah datang lagi perempuan yang lebih terbuka, “edan tenan, semledot!” terus setiap berpapasan lagi dia tambah jlalatan gemetar jantungnya, karena dia mengalami “gangguan”.
Kedua laki-laki itu saling berkata: “edan, ente kok ono cewek seksi ngono ora nglirik babar pisan!” lelaki menjawab: “lah bagiku itu udah biasa bung! Wong seandainya yang lewat tadi telanjang saja, aku tenang wae kok, hal hal begitu aku udah lulus/ wis khatam! Tidak lagi menarik bagiku dan tidak ada gangguan untukku keindahan yang engkau lihat itu, karena rasa ingin tahu ku sudah terjawab tuntas!”

Rasa ingin tahu menimbulkan ketertarikan, satu lelaki ingin tahu siapa perempuan dibalik penutup tubuh, lelaki lain ingin tahu “keindahan” yang belum/jarang dilihat.

Teman saya berkata: mengapa paha mulus perempuan menarik bagi laki-laki? Dia menjawab karena di tutup dan menimbulkan misteri (ketidakterungkapan)

Jadi , ketika aurat ditutup, itu menjadi indah, menimbulkan ketertarikan dan setelah terbuka engkau akan mencari ketertarikan yang lain dibalik itu yang belum terungkap, katakanlah aura.

Saya membodoh bodohi seorang kawan yang kawin lagi dengan wanita yang lebih jelek dari istri pertamanya, Dia berkata: Engkau belum lulus! Aurat tidak sama dengan aura. Saya bergumam sendiri dalam hati: ”wah ini gara gara banyak wanita yang memamerkan auratnya agar auranya memancar!”

Asu! Makin merasa peteng mripatku mencari cahaya.. kapan aku kasyaf (tercerahkan)

Trims Aura Kasih !

(aura khusus dalam tulilsan ini tidak menunjukan definisi)

Negeri Cengengesan

Banyak kawan selalu saja memberikan gambaran orang Indonesia di sisi jeleknya saja, hari ini saya akan kuak kan kepada anda tentang kehebatan orang Indonesia meski mungkin kata orang itu adalah ketidakhebatan. Tentang definisi tekhnologi menurut orang biasa adalah sebuah cara manusia untuk membuat hidupnya lebih nyaman. Dulu untuk menempuh Jakarta Surabaya sebelum ditemukan kereta Api, mungkin sangat melelahkan, sekarang setelah ditemukan pesawat udara, jarak hamper hampir tidak menjadi sebuah masalah.

Nah, setalah anda setuju dengan pengertian sederhana tentang tekhnologi menurut orang biasa, maka perkenankanlah tekhnologi tersebut dibagi menjadi dua model: yakni tekhnologi eksternal dan internal. ketika kita dihadapkan kepada realita yang membuat kita tidak nyaman, ada dua metode untuk mengubah ketidaknyamanan tersebut menjadi sebuah kenyamanan.

Metode pertama adalah kita sebisa mungkin akan mengubah lingkungan eksternal kita supaya lingkungan eksternal kita bias membuat kita nyaman, jika kita mendapati tanah kita tidak subur, maka kita ciptakan tekhnologi untuk membuat tanah menjadi subur. Ketika pacul membuat kita berkeringat, kita pakai alat bajak, atau kita berfikir pacul bertenaga surya Dst …

Metode kedua adalah ketika kita ternyata kita benar benar dihadapkan pada lingkungan eksternal yang tidak bias kita ubah untuk menjamin kenyamanan. Maka kemudian kita tata hati kita untuk menciptkan kenyamanan dalam keadaan yang mungkin tidak memungkinkan orang lain mendpatkan kenyamanan. Itulah yang disebut sebagai tekhnologi internal. Jika kita berada di Gua yang gelap gulita, dan kita tidak menemukan lampu, atau kita tidak bisa mengubah gelapnya gua, ya sudah, biasakan dengan gelap sehingga gelap tidak “menyakiti” kita. Kalo kita gak bisa kaya, ya sudah kita atur saja supaya kemiskinan adalah sebuah kemuliaan.

Kita boleh bangga sebagai orang Indonesia karena tekhnologi internal kita sungguh luar biasa, memang kita akui tekhnologi eksternal kita mungkin sangat jauh ketinggalan dengan bangsa lain, tetapi itu tidak menjadi soal, karena tekhnologi eksternal bias dipelajari, bias di bajak, bias di copy paste kan. Yang tidak mudah adalah keahlian kita dalam hal tekhnologi internal, bangsa kita adalah bangsa yang siap untuk mendapati berbagai keadaan, bangsa kita adalah bangsa yang mampu hidup nyaman dalam keadaan apapun juga, karena kita unggul dalam hal tekhnologi internal.

Jikalau tsunami kemarian ditimpakan kepada bangsa lain mungkin korban menjadi lebih banyak lagi, karena banyak yang bunuh diri putus harapan. kita setelah ditimpa bencana yang begitu dahsyat, sebentar kemudian kita udah bias cengengesan, sudah bisa bersenda gurau seakan akan tidak terjadi apa apa.

Dan nilai nilai untuk membangun tekhnologi internal tidak dimiliki oleh bangsa selain bangsa kita, bangsa kita punya modal kuat untuk bisa survive dalam keadaan apapun. Bangsa kita punya daya ubed yang luar biasa.

Jadi wajar, survey mengatakan Indonesia adalah negeri paling murah senyum, tepatnya mungkin cengengesan !

Trim Cak Nun, ku endapkan wasiatmu untuk aku muncratkan kembali