Kamis, 21 Mei 2009

Fitrah: Bening atau Kosong ?

Saya terus menerus mengeklplore pengertian fitrah, sampai hari ini ada dua alternative pengertian yang saya mungkinkan.

Sampai hari ini tidak ada kesimpulan yang berani saya putuskan untuk mengartikan kata fitrah, dari dua alternative yang saya punyai.

Alternative pertama fitrah diartikan sebagai kosong, tentu kosong dalam perspektif ruang. Agar lebih enak dijelaskan, maka saya andaikan saja bahwa bayi yang baru lahir itu bagaikan gelas, baru kemudian kefitrahan itu kita tarik ke perspektif ruang (gelas), apakah fitrah itu berarti kosong? Jika kosong maka konsekuensi metodologis nya adalah apa pun yang dimasukan ke gelas, maka itulah hasilnya. Maksudnya begini, jika kita masukan ke dalam gelas yang kosong itu air berwana biru, maka hasilnya ya air berwarna biru persis seperti inputnya.

Alternative yang kedua adalah fitrah diartikan sebagai bening, maksudnya adalah di dalam gelas “fitrah” itu sudah berisi air, tetapi air bening. Konsekuensi pengartian fitrah dengan bening adalah ketika kita misalnya mengisi gelas fitrah itu dengan air biru, maka outputnya tidak persis biru seperti inputnya, sebab tentu saja kebeningan bawaan akan mempengaruhi kebiruan air.

Agak susah memang memplot perpektif ruang (gelas) ke dalam bahasan fitrahnya bayi, Tinjauan fitrah nya bayi akan membawa kita ke tinjauan yang lebih dalam tentang filsafat kemanusiaan. Ada yang berpendapat bahwa bayi itu lahir benar benar kosong sehingga factor eksternal lah yang akan menjadikan seperti apa bayi akan tumbuh.

Ada juga yang berpendapat bahwa bayi itu lahir membawa “alam bawah sadar” kehidupan yang terdahulu, pendapat ini diamini oleh penganut reinkarnasi, alam bawah sadar tadi independent dari factor eksternal, bayi akan tumbuh melanjutkan kehidupan yang belum selesai. Di dalam wacana reinkarnasi inilah kemudian de javu menemukan relevansinya.

Ada juga yang berpendapat bahwa bayi itu lahir dengan “fitrah” –suci-, tetapi mengartikan suci masih tetap menimbulkan pertanyaan lanjutan, jika bayi terlahir suci, semestinya dengan factor eksternal yang “baik” akan dihasilkan pertumbuhan bayi yang baik. Atau sebaliknya, jika bayi suci ini dibenturkan dengan kondisi eksternal yang jelek maka hasilnya adalah resultante kejelekan eksternal dan kesucian bawaan. Saya banyak menemukan “ketidakteraturan” mengenai sejarah pertumbuhan manusia (bayi). Suci adalah kutub “positif” dalam perspektif kotor, apakah dengan demikian dunia ini (alam setelah bayi) adalah alam yang kotor?

Dalam hal ini saya masih belum terpuaskan dengan mengartikan fitrah dengan suci, sebab penjelasan suci dalam perspektif ruang yang saya sodorkan mau tak mau akan menuju pada dua alternative yang saya sebutkan.

Adakah yang bisa jelaskan ini? Saya sendiri lebih cenderung memilih bening, meski mungkin belum selesai pencarian saya, namun begitu nama Bening sudah terlanjur saya siapkan untuk menjadi nama depan anak perempuan saya, yah adik dari Gandrung anak pertama saya, yang entah kapan saya berani merencanakan bersunnatulloh dengan istri saya.

Tidak ada komentar: